Jakarta, Indonesiamenyala.com – Media sosial baru-baru ini dikejutkan oleh kontroversi pemberian sertifikat halal pada produk berlabel bir, wine, dan tuak. Polemik ini mengguncang masyarakat, terutama setelah seorang konten kreator, Dian Widayanti, mengunggah video yang menunjukkan sejumlah nama produk yang mencurigakan, seperti “tuyul”, “tuak”, “beer”, dan “wine” yang telah mendapatkan sertifikasi halal.

Konten tersebut langsung viral dan memicu perdebatan sengit, mengundang banyak komentar skeptis dari warganet. Masyarakat pun merasa khawatir karena produk yang dikenal sebagai minuman beralkohol dianggap bertentangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 44 tahun 2020, yang melarang sertifikasi halal untuk produk haram.

Dalam klarifikasinya, pihak MUI menjelaskan bahwa dari 25 produk berlabel wine, penggunaan istilah tersebut merujuk pada warna, bukan rasa atau aroma. Namun, banyak yang mempertanyakan apakah ini cukup untuk mengatasi kekhawatiran masyarakat yang telah terbiasa mengasosiasikan istilah tersebut dengan minuman beralkohol.

Baca juga:  Iran Luncurkan Serangan Rudal Balistik ke Israel, Tanggapan Terhadap Serangan di Lebanon

“Apakah ini bukan bentuk pemutarbalikan fakta?” tanya beberapa pengguna media sosial. “Bagaimana bisa bir pletok, yang jelas berbeda dari bir beralkohol, tetap diizinkan mendapatkan sertifikat halal?”

Yunita Nurrohmani dari LPPOM MUI menjelaskan bahwa bir pletok adalah minuman tradisional yang tidak mengandung alkohol dan sudah dikenal luas. Namun, kebingungan terus berlanjut, terutama dengan munculnya produk seperti Beer Strudel dan Beer Stroganoff, yang namanya bisa mengelirukan konsumen.

Lebih lanjut, produk Ginger Beer yang tengah dalam proses ganti nama menjadi Fresh Ginger Breeze juga menambah daftar panjang kebingungan ini. Apakah semua perubahan nama ini cukup untuk memastikan bahwa masyarakat tidak salah paham?

Mamat Slamet, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, menegaskan bahwa produk dengan sertifikat halal telah melalui proses yang ketat. Namun, pertanyaan tetap mengemuka: Apakah masyarakat masih bisa mempercayai sertifikasi ini, terutama ketika namanya saja sudah menimbulkan keraguan?

Baca juga:  Muhammad Hafiz Fattah Nahkodai Parlemen Provinsi Jambi.

Di tengah kegundahan ini, satu hal menjadi jelas: transparansi dan komunikasi yang lebih baik sangat diperlukan untuk mengatasi kekhawatiran publik. Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang memadai tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik pemberian sertifikat halal ini.

Demikian informasi mengenai kontroversi sertifikat halal pada produk berlabel bir, wine, dan tuak. Perdebatan ini tampaknya belum akan mereda, dan perhatian publik terhadap isu ini semakin meningkat.