Oleh : Vevryka Mayasari

Omnibus Law mulai dikenal luas di Indonesia setelah Presiden Republik Indonesia menyampaikannya dalam pidato kenegaraan saat pelantikannya sebagai Presiden di depan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 20 Oktober 2019. Diharapkan, dengan penerapan Omnibus Law, akan tercipta sistem pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat serta menarik minat investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, penting untuk dicatat bahwa secara normatif, metode Omnibus Law tidak diatur dalam ketentuan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Hal ini seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Keberadaan metode ini menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan dan landasan hukum dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat dianggap sebagai suatu anomali hukum.

Baca juga:  Revolusi Pemuda: Meredefinisi Keterlibatan Politik untuk Masa Depan

Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki tanggung jawab untuk melakukan revisi terhadap Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur tentang proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berfungsi sebagai revisi kedua terhadap undang-undang sebelumnya yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Melalui revisi ini, diharapkan proses legislasi dapat berjalan lebih lancar dan efektif, mengurangi hambatan yang mungkin ada dalam pembentukan undang-undang sebelumnya, serta mempermudah dialog antara berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan peraturan.

Penerapan metode Omnibus Law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai kesesuaian dan kompatibilitas metode tersebut dengan sistem hukum yang berlaku di negara ini. Sistem hukum Indonesia, yang didefinisikan sebagai sistem Civil Law, memiliki karakteristik dan prinsip-prinsip tertentu yang berbeda dengan sistem hukum Common Law yang lebih umum digunakan di beberapa negara lain. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pendekatan ini dapat diaplikasikan dengan tepat dan efektif dalam konteks hukum Indonesia yang lebih kaku dan terstruktur.

Baca juga:  Menelisik RTH Eks Pasar Angso Duo, Ketua Forum Aktivis Jambi; Potret Bobroknya Penegakan Hukum di Provinsi Jambi

Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk mengevaluasi secara mendalam apakah penerapan metode ini dapat dilakukan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang sudah mapan dalam sistem Civil Law Indonesia. Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah dampak terhadap transparansi, partisipasi publik, dan proses legislasi yang seharusnya menjadi bagian integral dalam pembentukan undang-undang di negara ini. Dengan demikian, perdebatan mengenai penerapan Omnibus Law di Indonesia tidak hanya berkisar pada aspek teknis, tetapi juga melibatkan pertimbangan filosofis dan normatif yang lebih luas mengenai bagaimana hukum seharusnya berfungsi dalam masyarakat. Selain itu, seringkali dalam proses perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan, terdapat berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran.