Dalam konteks HMI Cabang Jambi, banyak kader yang hanya memandang organisasi sebagai alat untuk meraih tujuan materiil semata, bukan sebagai sarana untuk mengembangkan diri menjadi individu yang intelektual, reflektif, dan mampu memberikan kontribusi nyata kepada umat.
Oleh :Tirta Alim Wiliam diaz (Kader HMI Cabang Jambi Komisariat Ushuluddin dan Dakwah UIN STS Jambi)
Jambi, Indonesiamenyala.com – Dalam pandangan filsafat, intelektualitas tidak hanya dimaknai sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh individu, tetapi lebih dari itu, intelektualitas adalah suatu kapasitas untuk berpikir secara kritis, rasional, dan reflektif, yang memungkinkan seseorang untuk memahami dunia dengan cara yang lebih mendalam dan komprehensif. Namun, pada kenyataannya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jambi kini sedang menghadapi krisis besar dalam bidang ini. Organisasi yang seharusnya menjadi pusat pengkaderan mahasiswa Islam yang intelektual dan visioner kini lebih dikenal karena kegiatannya yang jauh dari substansi ilmiah dan intelektual. Sebaliknya, ia lebih menonjolkan budaya materialisme dan kebodohan sebagai nilai utama dalam berorganisasi, yang jelas bertentangan dengan tujuan dan misi HMI yang sesungguhnya.
Pemikiran Kritis sebagai Landasan Perubahan
Filsafat selalu menempatkan intelektualitas sebagai pilar utama dalam pembentukan masyarakat yang adil dan sejahtera. Menurut Immanuel Kant, dalam karya klasiknya “Kritik terhadap Rasio Murni”, intelektualitas adalah kemampuan manusia untuk menggunakan akal budi dalam membentuk pengetahuan dan memahami dunia. Kant menekankan pentingnya pemikiran yang bebas dari segala bentuk prasangka dan dogma untuk mencapai pengetahuan yang sejati. Dalam konteks ini, HMI seharusnya menjadi tempat bagi kader-kadernya untuk mengasah kemampuan berpikir kritis dan rasional, untuk mempertanyakan segala bentuk ketidakadilan dan ketidaktahuan yang ada dalam masyarakat, serta menawarkan solusi berbasis pemikiran yang mendalam.
Namun, dalam kenyataan yang ada, banyak kader HMI Cabang Jambi yang terjebak dalam rutinitas yang jauh dari pencapaian intelektual yang sejati. Kegiatan yang seharusnya berorientasi pada pengembangan pengetahuan kini lebih sering terfokus pada hal-hal yang dangkal dan materialistis. Sebagai contoh, pertemuan-pertemuan organisasi lebih banyak diwarnai oleh diskusi mengenai keuntungan pribadi dan pencapaian status, daripada berbicara tentang pemikiran ilmiah dan teori-teori baru yang dapat memberi solusi untuk permasalahan umat. Dalam hal ini, HMI Cabang Jambi gagal menjalankan fungsi dasar sebagai wadah pengkaderan intelektual.
Ketika Tujuan Organisasi Berbelok
Karl Marx, dalam karya monumental “Das Kapital” , mengkritik kapitalisme yang mengutamakan nilai material sebagai tujuan hidup utama, menggantikan nilai-nilai yang lebih luhur seperti keadilan sosial dan pemikiran kritis. Marx menegaskan bahwa dalam sistem kapitalisme, individu seringkali dipaksa untuk mengejar keuntungan pribadi dan kekayaan materi, yang pada akhirnya menutup ruang untuk pengembangan intelektualitas yang sejati. Marx juga berargumen bahwa orientasi materialistik ini menyebabkan individu dan kelompok menjadi teralienasi dari tujuan sosial yang lebih besar, dan cenderung terjebak dalam rutinitas yang hanya mengejar keuntungan semata.
Fenomena ini sangat jelas terlihat dalam HMI Cabang Jambi. Banyak kader yang lebih sibuk mengejar posisi, pengaruh, dan status dalam organisasi daripada mengembangkan pemikiran kritis atau mengkaji permasalahan sosial secara mendalam. HMI Cabang Jambi kini menjadi arena bagi mereka yang lebih tertarik untuk menonjolkan diri dalam kebodohans dan keglamoran status sosial, ketimbang menjadi pusat pemikiran yang kritis dan mencerahkan. Diskusi-diskusi intelektual yang dulu menjadi ciri khas organisasi ini kini sering digantikan oleh perbincangan kosong tentang kekuasaan dan materi.
Filsuf Jean-Paul Sartre, dalam karya “Being and Nothingness” , menyatakan bahwa kebebasan manusia hanya bisa dicapai melalui pemahaman yang mendalam tentang eksistensi diri dan dunia sekitar, yang berlandaskan pada pemikiran reflektif. Sartre mengkritik mereka yang terjebak dalam rutinitas dan kepentingan material, karena mereka tidak mampu memahami eksistensi mereka dengan cara yang jernih dan benar. Dalam konteks HMI Cabang Jambi, banyak kader yang hanya memandang organisasi sebagai alat untuk meraih tujuan materiil semata, bukan sebagai sarana untuk mengembangkan diri menjadi individu yang intelektual, reflektif, dan mampu memberikan kontribusi nyata kepada umat.
Liga Kebodohan dan Pengejaran Status Semata
Jika kita berbicara tentang HMI Cabang Jambi saat ini, dapat dikatakan bahwa organisasi ini telah bertransformasi menjadi “liga kebodohan”, yang justru menonjolkan kebodohan dan ketidakmampuan intelektual sebagai sesuatu yang dibanggakan. Alih-alih menjadi wadah yang menghasilkan pemikiran-pemikiran tajam dan konstruktif, HMI Cabang Jambi kini lebih menjadi ajang bagi individu-individu yang hanya mengejar popularitas dan status semata. Ini adalah kritikan yang sangat keras terhadap realitas organisasi ini, karena pada dasarnya HMI harusnya menjadi tempat yang mampu memproduksi pemimpin-pemimpin yang berwawasan luas, bukan hanya individu-individu yang pandai berkelit dalam perburuan posisi dan materi.
Dalam pengamatan filsafat sosial, Max Weber dalam “Economy and Society” mengungkapkan bahwa organisasi yang baik adalah organisasi yang berorientasi pada tujuan yang rasional, yang seharusnya tercermin dalam perilaku anggotanya. HMI Cabang Jambi, yang dulunya diharapkan menjadi organisasi dengan kader-kader yang berorientasi pada perubahan sosial dan intelektual, kini menjadi organisasi yang lebih mengutamakan pencapaian materiil dan status. Organisasi ini seharusnya melahirkan intelektual muda yang mampu memimpin dengan pemikiran yang tajam dan prinsip yang jelas, bukan sekadar individu yang terjebak dalam kepentingan egois dan materi.
Fenomena ini menggambarkan bahwa HMI Cabang Jambi tidak lagi menjadi agen perubahan yang memperjuangkan pemikiran dan keadilan sosial, tetapi lebih menjadi arena bagi mereka yang hanya tertarik untuk menonjolkan diri dalam kebodohan dan materialisme. Ini adalah kritik tajam terhadap arah dan tujuan organisasi, yang kini lebih tertarik pada pencapaian yang bersifat sementara, bukan pada pencapaian yang memberi dampak jangka panjang bagi masyarakat dan umat.
Kembali ke Tujuan Asli Pengkaderan
Untuk mengatasi krisis intelektual ini, HMI Cabang Jambi perlu melakukan introspeksi dan reformasi yang mendalam terhadap sistem kaderisasi dan budaya organisasinya. HMI harus kembali pada tujuan awalnya: menjadi pusat pengkaderan Mahasiswa yang berwawasan luas, intelektual, dan mampu memberikan solusi bagi permasalahan umat dan bangsa. Kegiatan yang mengedepankan pencapaian materiil dan status sosial harus dihindari, dan fokus harus dialihkan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, kemampuan analisis sosial, serta pemahaman mendalam terhadap ajaran Islam dan ilmu pengetahuan umum.
Sistem kaderisasi yang mengedepankan kualitas intelektual, bukan sekadar status dan materi, harus segera dikembalikan. Kader-kader HMI harus dilatih untuk berpikir secara mendalam, bertanggung jawab terhadap umat, dan siap untuk menghadapi tantangan zaman dengan pemikiran yang tajam dan solusi yang bijaksana. Tanpa itu, HMI Cabang Jambi akan terus terjebak dalam siklus kebodohan dan materialisme yang tidak memberikan manfaat apapun bagi kemajuan organisasi dan masyarakat.
Sebagai organisasi yang berakar dalam tradisi Islam dan memiliki potensi besar untuk mencetak pemimpin umat, HMI Cabang Jambi harus kembali menegaskan peranannya sebagai pusat pengembangan intelektual yang mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya berprestasi dalam materi, tetapi juga dalam pemikiran dan pengabdian pada umat.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.