Penulis: Roland Pramudiansyah (Formateur/Ketua PERMAHI Jambi)
Kita tak bisa lagi menutup mata saat debt collector menebar ancaman bak preman jalanan. Panggilan merendahkan, paksaan tunjuk BPKB, hingga intimidasi psikologis, semua itu bukan sekadar “penagihan,” melainkan teror yang melanggar hukum dan nilai kemanusiaan.
Pertama, debt collector yang mengekang kebebasan psikologis debitur dengan nada kasar dan ancaman kekerasan sesungguhnya telah menapaki wilayah pidana pemerasan (Pasal 368 KUHP) dan penganiayaan psikologis (Pasal 335 KUHP). Ini bukan “gaya bahasa” ini adalah kejahatan.
Kedua, suara-suara premanisme dalam penagihan bergelombang menyalahi UU Perlindungan Konsumen (Pasal 8 huruf h), yang melarang keras tindakan intimidasi dan paksaan. OJK pun sudah menancapkan larangan tegas melalui POJK Nomor 7/POJK.05/2022 perubahan dan mencabut sebagian POJK No. 35/POJK.05/2018, namun implementasinya bagaikan janji kosong belaka.
Ketiga, debt collector kerap menyalahgunakan data pribadi debitur, mengancam akan menyebarkannya bila “tuntutan” tak dipenuhi pelanggaran nyata UU ITE yang bisa berujung denda besar dan penjara.
Saya menuntut:
1. Polisi Bergerak Cepat, Kasus ini harus ditetapkan sebagai perkara pemerasan dan penganiayaan psikologis tanpa kompromi.
2. OJK Tangani Tegas, Berikan sanksi administratif maksimum kepada lembaga kredit yang membiarkan anak buahnya bertindak seperti penjahat.
3. BPSK Jambi Siapkan Mediasi, Debitur berhak mendapat ganti rugi immateril atas teror dan stres berkepanjangan.
Debt collection bukan ajang mengekang martabat rakyat. Siapapun yang menodai proses penagihan dengan arogansi dan teror harus diketahui publik, diciduk hukum, dan dijadikan pelajaran agar tidak satu pun lagi debitur Indonesia terkapar di bawah bayang-bayang ketakutan.
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.