Penulis : Jimmy Rahmad Hidayah (Ketua Umum HMI Korkom UNJA)

Jambi, Indonesiamenyala.com – Sejarah mencatat hari ini bukan sebagai hari biasa, melainkan sebagai momen pengkhianatan atas etika demokrasi di Provinsi Jambi.

Di depan Gedung DPRD Provinsi Jambi, massa mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Jambi Melawan turun ke jalan, menyuarakan aspirasi rakyat yang selama ini ditelantarkan.

Dengan membawa tuntutan yang sah, konstitusional, dan berpijak pada kepentingan publik, mereka berharap menemui ruang dialog. Namun yang mereka temui bukan pemimpin yang membuka tangan, melainkan seorang Ketua DPRD yang membuka dada dengan pongah—dan mengeluarkan kata-kata yang menyulut kemarahan publik: “Apo selero kau?”

Kata-kata itu, diucapkan di hadapan massa yang tengah bersuara lantang memperjuangkan hak rakyat, bukanlah sekadar frasa basa-basi. Kalimat itu adalah bentuk pelecehan simbolik.

Ia bukan hanya menantang, tapi juga meremehkan dan menyindir kehadiran mahasiswa seolah-olah mereka datang tanpa alasan. Diucapkan dengan nada tinggi dan penuh superioritas, kata-kata itu seolah ingin mengatakan bahwa tuntutan mahasiswa tak layak didengar—bahwa rakyat kecil tak punya tempat bicara di gedung yang seharusnya menjadi rumah mereka.

Baca juga:  Aparat Diam, Tambang Ilegal Berkobar: Ada Apa dengan Hukum di Jambi?

“Apo selero kau?” menjadi simbol baru dari bagaimana kekuasaan di Jambi telah berjarak dari nadi rakyat. Bukan hanya sekadar bahasa daerah, ia berubah menjadi tamparan verbal dari elite kepada warganya sendiri.

Dalam konteks aksi damai, kata-kata itu merupakan bentuk tantangan terbuka—seolah Ketua DPRD hendak menguji sejauh mana mahasiswa berani melawan arogansi yang telah menjelma menjadi sistem.

Padahal, tuntutan mahasiswa sangat jelas dan berdasar. Mereka tidak sedang bermain-main di jalan. Mereka menyerukan pencabutan UU TNI yang membuka celah kekuatan bersenjata masuk ke ranah sipil, menolak RUU Polri dan KUHAP yang mengancam keadilan prosedural, menentang RUU ASN yang menjinakkan birokrasi, serta mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset demi memerangi korupsi yang mengakar dalam sistem negara. Dan itu hanya separuhnya.

Di tingkat daerah, suara mereka menyentuh luka nyata masyarakat Jambi. Mulai dari maraknya pertambangan ilegal yang dibiarkan merusak lingkungan dan mencuri sumber daya daerah, konflik batubara yang menghancurkan keharmonisan sosial, layanan buruk di RSUD Raden Mattaher yang sudah jadi rahasia umum, hingga bencana banjir yang terus berulang karena pembiaran terhadap kerusakan lingkungan.

Baca juga:  Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia Dengan Metode Omnibus Law

Mereka juga menyoroti judi online yang tak terkendali serta konflik agraria yang tak kunjung diselesaikan karena kekuasaan terlalu sibuk merawat investor ketimbang melindungi petani.

Namun semua itu, bagi Ketua DPRD, seolah hanya suara remeh dari anak-anak muda yang “tidak tahu tempat”. Dengan gaya otoriter, penuh gestur emosional, dan pernyataan yang jauh dari adab seorang pemimpin rakyat, ia memperlihatkan betapa dalamnya krisis etika dalam kepemimpinan daerah hari ini.

Ia telah melampaui batas, tak hanya sebagai pejabat publik, tapi juga sebagai manusia yang semestinya memahami bahwa suara rakyat bukan untuk ditantang, apalagi ditertawakan.

Sikap dan kata-kata seperti ini tak bisa didiamkan. Ketua DPRD layak diberikan kartu merah karena ia telah gagal menjadi pengayom. Ia tak hanya mencederai semangat demokrasi, tapi juga meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif.

Apa yang ia lakukan adalah bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Kekuasaan bukan ruang pamer keberanian, apalagi ajang untuk menantang generasi muda yang menyuarakan nurani.

Ketika pemimpin bicara dengan nada mengancam, maka rakyat berhak marah. Ketika parlemen menutup ruang dialog dengan kata-kata pongah, maka jalanan akan tetap terbuka sebagai mimbar alternatif.

Baca juga:  Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Jambi semacam Kiamat Ekologis yang Tidak Terelakkan?

Mahasiswa yang hadir saat itu bukan sedang mencari perhatian, tapi sedang membawa suara rakyat yang selama ini tak didengar. Dan suara itu, tak akan padam hanya karena satu kalimat “Apo selero kau?”

Sebaliknya, suara itu akan menggema lebih keras, karena kini mereka tahu: musuhnya bukan hanya kebijakan, tapi juga karakter buruk dari pemilik kuasa. Dan kepada rakyat Jambi, kita harus sadar, bahwa kita tidak sedang kekurangan sumber daya atau pemikiran hebat—kita hanya sedang kekurangan pejabat yang punya hati dan keberpihakan.

Jika hari ini kita diam, maka besok kita hanya akan menjadi penonton saat kekuasaan semakin jauh dari rakyatnya. Maka dari itu, mari suarakan lebih keras: ketua DPRD yang menantang rakyat tak layak jadi pemimpin.

Dan kepada Ketua DPRD Provinsi Jambi—dengarlah baik-baik—suara mahasiswa hari itu adalah isyarat. Jika kau tidak berubah, maka sejarah akan mengingatmu sebagai pemimpin yang memilih melawan rakyatnya sendiri. Dan pada akhirnya, rakyatlah yang akan menang.